Tuesday, July 10, 2018

MIKROENKAPSULASI MIKROORGANISME MENGGUNAKAN PENYALUT WHEY PROTEIN

TUGAS MATAKULIAH TEKNIK RISET NUTRISI TERNAK





ENKAPSULASI MIKROORGANISME MENGGUNAKAN PENYALUT WHEY PROTEIN
Dosen Pengasuh : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan
OLEH : M INGGIT FAUZI
NRP : D251170121

Penggunaan whey protein sebagai bahan penyalut untuk pembuatan mikroenkapsulasi sangat direkomendasikan. Karena whey protein mempunyai kandungan yang memenuhi sebagai bahan penyalut. Dan juga dapat memanfaatkan produk sampingan pembuatan keju ini menjadi suatu hal yang lebih bermanfaat.







PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN PAKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
ENKAPSULASI MIKROORGANISME MENGGUNAKAN PENYALUT WHEY PROTEIN
M Inggit Fauzi
(NRP : D251170121)



Abstrak
            Whey protein merupakan produk sampingan dari pembuatan keju yang mempunyai nilai tambah tersendiri. Whey protein merupakan salah satu penyalut yang dapat memenuhi sebagai bahan penyalut mkroenkapsulasi bahan. Namun perlu adanya suatu teknologi atau metode yang cocok untuk mengoptimalkan fungsi whey protein sebagai penyalut. Dimana whey protein mempunyai kandungan protein, laktosa, mineral yang cukup tinggi. Bahan organik yang terkandung dalam whey protein inilah yang sangat bermanfaat untuk pembuatan mikroenkapsulasi dengan berbagai metode. Sehingga hasil dari enkapsulasi dapat bisa memenuhi tujuan dari mikroenkapsulasi.
Kata kunci : whey protein, mikroenkapsulasi, mikroorganisme



Pendahuluan
            Susu adalah salah satu produk peternakan yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Hal ini karena susu mempunyai kandungan atau nilai gizi yang tinggi dan lengkap dan merupakan sumber protein hewani yang sangat baik dikonsumsi oleh manusia. Konsumsi susu setiap tahunnya mengalami peningkatan. Seiring dengan peningkatan konsumsi susu maka mendorong berkembangnya industry pengolahan susu. Pada proses pengolahannya biasanya menghasilkan hasil ikutan yang belum termanfaatkan dengan baik oleh manusia.
            Proses menggumpalnya susu dlam pembuatan keju menghasilkan produk ikutan atau sampingan yaitu whey. Penggunaan whey jarang digunakan pada beberapa industry bahkan dibuang sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan. Dimana whey memiliki nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) yang seimbang dengan batas yang diperbolehkan 50.000 mg/l (BOD) dan 80.000 mg/l (COD) (Guimaraes et al. 2010). Hal ini bisa terjadi karena pada whey masih terkandung nutrisi dan bahan organic didalamnya seperti protein, laktosa dan mineral. Sehingga dengan kandungan organik yang terkandung pada whey menjadikan whey sebagai media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme,  sehingga bila di kelola dengan baik whey dapat digunakan sebagai penyalut enkapsulasi mikroorganisme.
            Mikroenkapsulasi adalah teknik penyalutan suatu bahan pakan sehingga bahan tersebut dapat terlindungi dari pengaruh dari lingkungan yang dapat merugikan seperti panas dan bahan kimia (Victor & Heldman. 2001). Metode yang digunakan dalam enkapsulasi antara lain : spray drying, spray chilling dan cooling, prilling, spinning dist, fluidized, liposomes, extrusion, penyalutan dengan suspense udara, coacervation, inklusi molekul,  (Arshady 1993).  Sehingga makalah ini dibuat untuk meninjau peran whey protein sebagai penyalut enkapsulasi mikroorganisme. Makalah ini akan dijelaskan pula penggunaan berbagai metode enkapsulasi menggunakan penyalut whey protein.
Whey Protein dan Mikroenkapsulasi
            Whey protein merupakan produk sampingan dari pembuatan keju yang kebanyakan hanya sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan. Whey protein mengandung protein, laktosa (gula susu), mineral dan lain-lain. Protein pada whey sekitar 20% dari whey. Pemberian probiotik dalam bentuk kultur sel banyak memiliki kelemahan yaitu berkaitan dengan daya simpan yang singkat serta mudah rusak oleh pengaruh lingkungan. Sehingga probiotik harus memiliki kemampuan untuk bertahan pada proses penyimpanan dan lainnya (shortt 1999). Perlu adanya teknologi untuk membuat probiotik dapat bertahan dalam kondisi tersebut salah satu metode yang dapat diterapkan yaitu metode mikroenkapsulasi. Tujuan dari mikroenkapsulasi adalah meningkatkan sabilitas bahan aktif selama proses penyimpanan, mengendalikan pelepasan bahan pada tempat dan waktu yang tepat, mencegah terjadinya oksidasi, dan menutupi baud an aroma yang kurang sedap.
            Mikroenkapsulasi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan sel bebas yaitu bimassa tinggi, stabilitas biologis meningkat, meningkatkan produksi, meningkatkan stabilitas produk, kemampuan memisahkan dan menggunakan kembali sel.
Tabel 1. Komposisi nutrisi whey protein
Komposisi
Whey (%)
Air
93,5
Protein
1
Lemak
0,4
Laktosa
5
Abu
0,65
Sumber : Johnson, 2000
Tabel 2. Komposisi whey protein
Protein
Komposisi (%)
Kasein
αs1-casein
32
αs2-casein
8
β-casein
32
k-casein
8

80
Whey protein:
β-laktoglubulin
12
β-lactalbumin
4
Immunoglobulins
3
Serum albumin
1

20
Sumber : Johnson, 2000
            Whey Protein merupakan fraksi/bagian dari protein yang dipisahkan dari kasein pada proses koagulasi dalam susu pada pembuatan keju . Whey mengandung sekitar 20% protein pada keju yang tidak terkoagulasi oleh enzim rennet. Selain itu, whey juga mengandung karbohidrat, vitamin dan mineral susu serta sedikit lemak. Lebih lanjut, whey sering menjadi komposisi produk minuman olahraga karena ada kandungan BCAA (Branched Chain Amino Acids), leusin, isoleusin dan valin yang tinggi. BCAA sangat penting dalam menjaga glikogen pada sel otot.

Enkapsulasi Menggunakan Penyalut Whey Protein
            Penelitian Michael dan Ulrich (2011) menunjukkan bahwa metode emulsi yang telah diinduksi secara termal, mikroenkapsulasi yang menggunakan penyalut whey protein yang diterapkan untuk enkapsulasi ekstrak bilberry yang kaya antosianin dapat dihasilkan dari whey protein. Mendapatkan hasil bahwa          
Gambar 1. Pengaruh kandungan ekstrak bilberry dan penambahan PCDL pengemulsi pada morfologi mikrokapsul protein whey pada pH 1,5 pH 3 yang disiapkan pada kecepatan pengaduk konstan 1350 rpm seperti yang diamati oleh mikroskop cahaya.
menggunakan ekstruksi yang diterapkan, diameter manik rata-rata dari mikrokapsul yang diperoleh sampai sekarang berkisar ~ 0,5 mm sampai ~ 2,5 mm. Sebaliknya bila mengunkanan metode emulsi dengan bantuan pengemulsi PCDL efektif yang dipilih eksperimental memungkinkan produksi mikrokapsul dengan diameter rata-rata di bawah 70 μm yang dapat dipraktikkan untuk aplikasi makanan tanpa dampak sensorik negatif. Dimana penelitian ini difokuskan untuk mengungkapkan dan mengukur interaksi yang diamati antara whey protein, ekstrak bilberry dan pengemulsi selama proses mikroenkapsulasi dan karakteristik pelepasan mikrokapsul sedang dalam penyelidikan.
            Menurut penelitian Nicoleta et al. (2017) menunjukkan bahwa metode mikroenkapsulasi dari bioktif ekstrak elderberry (Sabuci nigra) menggunakan whey protein menghasilkan bahwa dari parameter antara whey protein dan anthocyanins dan flavonoids dari ekstrak elderberry. Eksperimen tersebut mengungkapkan adanya proses pendiginan yang dinamis, melibatkan beberapa mode pengikatan untuk interaksi whey protein dan biaktif dari ekstrak. Dari hasil HPLC menunjukkanbahwa anthocyanin dan flavonoid utama ditemukan pada ekstrak elderberry, pengujian docking lanjutan menggunakan β-lactoglobulin sebagai reseptor dan delphinidin-3-glukosida dan katekin sebagai ligan. Meskipun permukaan interaksi lebih rendah bila terjadi ikatan β-laktoglobulin-delphinidin-3-glukosida, energi ikatan dan afinitas molekul dalam perakitan lebih tinggi dibandingkan dengan kompleks katekin β-laktoglobulin. Selanjutnya, bioaktif elderberry berhasil dienkapsulasi menggunakan isolat whey protein dan pektin sebagai bahan pelapis. Mikrokapsul dicirikan dalam hal kandungan polifenol, kapasitas antioksidan, warna, mikroskopi pemindaian confocal laser dan stabilitas termal. Hasilnya menunjukkan efisiensi enkapsulasi yang signifikan dari ~ 98% antosianin. Investigasi pemindaian laser confocal mengungkapkan adanya jaringan jala lebar dengan ukuran mulai dari 40-150 μm dan berbagai formasi bola atau poligonal. Kedua ekstrak elderberry dan mikrokapsul menunjukkan aktivitas antioksidan tinggi, menunjukkan bahwa mikrokapsul dapat digunakan sebagai antioksidan alami di bidang makanan. Antosianin yang dienkapsulasi menunjukkan stabilitas yang lebih tinggi secara signifikan saat dikenai perlakuan termal, sedangkan peningkatan kadar flavonoid ditemukan dengan meningkatnya suhu dan waktu penahanan. Penelitian ini akan membantu aplikasi industri ekstrak elderberry atau serbuk mikroenkapsulasi.
            Penelitian yang telah dilakukan oleh Mahmoud et al. (2017) yang menggunakan metode ultrasonik menggunakan penyalut whey protein mendapatkan hasil bahwa pembuatan dan karakterisasi Ziziphora clinopodiodes EO mikroenkapsulasi yang buat oleh metode ultrasonik. Whey protein isolate (WPI) dan pektin adalah dua bahan dinding dan nilai optimum daya ultrasonik dan rasio lapisan inti ditentukan dengan metode RSM. Intensifikasi proses ultrasonication memiliki efek negatif dalam pengurangan ukuran tetesan mikrokapsul. Mikropartikel yang lebih kecil diperoleh oleh WPI dibandingkan dengan pektin yang dikaitkan dengan struktur amphiphilic dan kemampuan pengemulsi WPI. Namun, nilai indeks polidispersitas lebih rendah untuk mikrokapsul berlapis pektin. Efek rasio inti lapisan pada viskositas dan kekeruhan emulsi lebih banyak daripada daya ultrasonik. penelitian ini menunjukkan kemampuan metodologi respon permukaan dalam optimalisasi proses ultrasonication untuk menghasilkan Z. clinopodiodes EO mikrokapsulasi yang distabilkan dengan WPI dan pektin. Pengamatan scaning mikroskop elektron terhadap mikrokapsul optimal, menyetujui ukuran partikel yang diprediksi. Uji XRD tidak menunjukkan perubahan struktural biopolimer saat digunakan sebagai bahan dinding. Analisis FT-IR menunjukkan pentingnya interaksi elektrostatik daripada reaksi kimia dalam stabilisasi Z. clinopodiodes EO oleh WPI dan pektin. Kelebihan dari penelitian ini dengan menggunakan metode ultrasonication dapat mengkonsumsi energi dengan rendah, ukuran tetesan yang lebih kecil, dan efiensi enkapsulasi yang tinggi.
            Penelitian yang telah dilakukan oleh Eckert et al. (2017) yang menggunakan metode mikroenkapsulasi bakteri Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dengan pengeringan semprot yang menggunakan penyalut whey protein mendapatkan hasil bahwa whey, permeat, whey retentate menunjukkan cocok sebagai bahan dinding, sebagai pelindung Lactobacillus plantarum ATCC 8014 selama mikroenkapsulasi melalui pengeringan semprot. Setelah disimpan di 200 C selama delapan minggu, semua mikroenkapsulasi menunjukkan jumlah sel diatas nilai kualitas minimum dari bakteri probiotik dibutuhkan untuk makanan fungsional. Mikroenkapsulasi dengan produk whey susu, menghasilkan peningkatan resisten dari Lactobacillus plantarum ke GIT simulasi., kecuali untuk mikrokapsul permeat pada keberadaan garam empedu. Dengan penggunaan produk whey susu dapat mengurangi limbah susu dan menjadi nilai tambah tersendiri.
Kesimpulan
            Bahan penyalut untuk pembuatan enkapsulasi mikroorganisme harus mempunyai persyaratan khusus untuk memenuhi tujuan dari penyalut. Menggunakan penyalut whey protein merupakan salah satu penyalut yang baik digunakan karena dapat memenuhi standar dari penyalut itu sendiri. Namun untuk mendukung pembuatan enkapsulasi menggunakan whey protein sebagai penyalut yang baik juga harus disesuaikan dengan penggunaan metode mikroenkapsulasi.







Daftar Pustaka
Arshady R. 1993. Microcapsules for food. J Microencapsul. 10 (4): 413-435
Camila E, V.G. Serpa, A.C.F. dos Santos, S.M. da Costa, V. Dalpubel, D.N. Lehn
            and C. F.V. de Souza. 2017. Microencapsulation of Lactobacillus plantarum
            ATCC 8014 through spray drying and using dairy whey as wall materials.
            LWT - Food Science and Technology, doi: 10.1016/j.lwt.2017.04.045.
Guimarães PMR, Teixeira JA, Domingues L. 2010. Fermentation of lactose to bio-
            ethanol by yeasts as part of integrated solutions for the valorisation of cheese
            whey. Biotechnol Adv 28(3):375–384.
Johnson. 2000. US Whey Products in Snacks and Seasoning. US Dairy Export
            Council USA.
Mahmoud H, M.A. Khaledabad and H. Almasi. 2017. Optimization of Ziziphora
            clinopodiodes essential oil microencapsulation by whey protein isolate and
            pectin: a comparative study, International Journal of Biological
           
Macromoleculeshttp://dx.doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2017.03.190
Michael B, and U. Kulozik. 2011. Microencapsulation of bioactive bilberry
            anthocyanins by means of whey protein gels. 11th International Congress on
            Engineering and Food (ICEF11). doi:10.1016/j.profoo.2011.10.006
Nicoleta S, A.M. Oancea, I. Aprodu, M. Turturică, V. Barbu, E. Ioniţă, G. Râpeanu
            and G. Bahrim. 2017. Investigations on binding mechanism of bioactives
            from elderberry (Sambucus nigra L.) by whey proteins for efficient
            microencapsulation, Journal of Food Engineering (2017), doi:
            10.1016/j.jfoodeng.2017.10.019
Shortt C. 1999. The Probiotic Century : Historycal and current perspectives. Review
            on Trend Food Science and Technology. 10: 411 – 417
Victor RP, Heldman DR. 2001. Introduction to food engineering. 3nd ed. London
            (ID): Academics Press






Nilai kadar NH3-N

Nilai kadar NH3-N pada pemberian silase rumput memberikan nilai yang berbeda nyata disetiap perlakuannya. Terlihat pada saat ternak diberikan pada silase rumput Guinea, nilai NH3-N paling rendah dibandingkan dengan ternak yang diberikan oleh silase Stylosanthes sp. dan campuran silase antara rumput Guinea dan Stylosanthes sp. Sumber NH3-N rumen selain dari degradasi protein pakan, juga berasal dari degradasi mikrobia terutama protozoa. Protozoa sendiri memiliki kemampuan untuk memecah molekul-molekul besar dari protein, karbohidrat dan bakteri rumen. Penambahan FJLB merangsang pertumbuhan bakteri lactobacillus, dengan demikian meningkatkan kandungan asam laktat dari silase dan selanjutnya menurunkan pH (Bureenok et al., 2012)
Menurut Rahjan, 1977 peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena terjadi peningkatan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energy tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan NH3 sehingga saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidraat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein.mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degredasi mengalami kecernaan di dalam usus oleh enzim – enzim protease dengan hasil akhir asam amino.
Mikroba rumen sangat  berperan dalam mendegredasi pakan yang masuk ke dalam rumen menjadi produk – produk yang sederhana sehingga dapat dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energy. Kelompok utama mikroba yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng, 1987).
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbuang (volatile fatty acid =VFA) yaitu asam asetat, asam propionate, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat, dan asam isovalerat. Konsentrasi asam propionat yang dihasilkandari penelitian ini yaitu berbeda nyata (P< 0,05). Terlihat dari hasil pemberian pakan silase campuran antara Guinea dan Stylosanthes sp. memiliki nilai tertinggi dari pemberian pakan yang lain yaitu 122,2 mmol/I. Bannink et al. (2008) menyatakan bahwa, komposisi VFA yang terbentuk di dalam rumen dipengaruhi oleh substrat yang difermentasi, populasi mikroba dan ekologi rumen. Asam propionat merupakan substrat untuk glukoneogenesis dan sumber glukose utama bagi ternak. Asam asetat dan butirat berperan dalam sintesis asam lemak rantai panjang (Morvay et al., 2011).


Daftar pustaka
Bureenok, S., Yuangklang, C., Vasupen, K., Schonewille, J.T. and Kawamoto, Y. 2012. The Effects of additives in Napier grass silages on chemical composition, feed intake, nutrient digestibility and rumen fermentation. Asian-Australasian Journal of Animal Science 25: 1248-1254.

MORVAYY., BANNINKA., FRANCEJ., KEBREABE., DIJKSTRAJ. 2011. Evaluation of models to predict the stoichiometry of volatile fatty acid profiles in rumen fluid of lactating Holstein cows. J. Dairy Sci. 94: 3063-3080


Bannink, A., J. France, S. López, W. J. J. Gerrits, E. Kebreab, S. Tamminga, and J. Dijkstra. 2008. Modelling the implications of feeding strategy on rumen fermentation and functioning of the rumen wall. Anim. Feed Sci. Technol. 143:3–26

Pengolahan Sumber Daya Pakan NRP : D251170121 Dosen : Prof. Dr. Ir Erika Budiarti Laconi, MS

Nama : M Inggit Fauzi         Mata Kuliah : Pengolahan Sumber Daya Pakan
NRP    : D251170121             Dosen              : Prof. Dr. Ir Erika Budiarti Laconi, MS
Ø  Apa alasan penelitian ini dilakukan ?
Jawaban : Latar belakang dilakukan metode silase pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai kandungan nutrisi dari silase rumput Guinea dan legume Stylosanthes guianensis dengan penambahan jus fermentasi bakteri asam laktat. Dimana telah kita ketahui bahwa tujuan dari teknologi silase yaitu untuk memperpanjang masa simpan pakan dengan meningkatkan kadar asam dari pakan tersebut dan semaksimal mungkin menghindari pathogen atau bakteri pembusuk ketika pada suatu kondisi bila melimpahnya produksi hijauan ketika masa panen sedangkan  jumlah ternah yang dimiliki tidak sesuai dengan banyaknya hijauan maka hijuan dapat disilase. Disetiap hijauan yang dibiarkan dalam kondisi anaerob pasti terjadi proses fermentasi namun jumlah bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam laktat pun terbatas sehingga dengan adanya penambahan jus bakteri asam laktat diharapkan dapat meningkatkan jumlah bakteri asam laktat dapat silase tersebut sehingga bakteri pathogen yang berperan sebagian bakteri pembusuk tidak dapat hidup pada kondisi asam tersebut.
Ø  Mekanisme yang dilakukan dalam penelitian ini mulai dari pembuatan jus fermentasi bakteri asam laktat hingga pembuatan silase yang diberi penambahan jus fermentasi bakteri asam laktat ?
Jawaban :
A.      Mekanisme pembuatan jus fermentasi bakteri asam laktat ini yaitu mengacu pada Bureenok et al. (2005) bahwa proses pertama yaitu 200 gram dari rumput Guinea atau legume stylo (50:50) yang dimaserasi dalam 1000 mL air suling yang steril dan selanjutnya diblender. Setelah di blender selanjutnya di saring menggunakan kain katun tipis sebanyak 2 lapis kain katun. Selanjutnya di masukkan kedalam botol kaca yang ditambahkan 2% glukosa dan di tutup di simpan selama 2 hari dalam suhu 300C. setelah penyimpanan 2 hari maka jus fermentasi bakteri asam laktat pun sudah jadi dengan didalamnya mengandung bakteri asam laktat sebanyak 5,50 log 10 dan 5,67 log 10 colony forming units(cfu)/g.
B.       Mekanisme persiapan pembuatan silase yang di campurkan dengan jus fermentasi bakteri asam laktat. Proses pertama dalam  tahap ini yaitu memanen rumput Guinea dan legume Stylo yaitu pada umur panen 45 dan 60 hari. Rumput yang sudah dipanen selanjutnya di copper dengan ukuran 2 - 4 cm sebelum dilakukan proses fermentasi. Setelah dilakukannya pemotongan selanjutnya setiap rumput dipersiapkan untuk 3 perlakuan yaitu 100% rumput Guinea dan 100% legum Stylo dan campuran antara rumput Guinea dan legum Stylo dengan rasio 50:50 sebanyak 60 kg setiap perlakuan yang di simpan di drum plastik. Dan setiap perlakuan ditambahkan dengan 1% jus fermentasi bakteri asam laktat lalu di aduk dengan rata dan dipadatkan lalu ditutup di fermentasi selama 45 hari dalam kondisi anaerob dengan suhu kurang lebih 27-300C.
C.       Mekanisme pemberian perlakuan kepada ternak yaitu dengan menggunakan 6 ekor kambing persilangan kambing jantan Anglo Nubia x kambing asli Thailand dengan bobot badan rata-rata 40 ± 5.0 kg dengan ukuran kandang individu (60 x 120 x 90 cm). Pemberian pakan dan air minum pada setiap perlakuan dilakukan secara adlibitum atau tak terbatas. Dan juga ternak percobaan diberikan konsentrat sebanyak 0,9% dari berat badan. Pemberian ransum dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Kambing ditimbang diawal penelitian sebelum makan dan diakhir setelah penelitian.
D.      Mekanisme pengambilan sampel pada penelitan ini yaitu yang pertama dengan menganalisis kandungan dari silase yang telah di buat pada 3 perlakuan. Selanjutnya pada akhir periode percobaan sampel cairan rumen di analisis. Setiap 7 hari terakhir periode percobaan kotoran ternak di kumpulkan secara kuantitatif pagi dan sore untuk dianalisis.
Ø  Bagaimanakah hasil dan pembahasan dari riview jurnal ?
Jawaban : Berdasarkan jurnal yang kami riview maka dapat kami ketahui bahwa pembuatan silase dari rumput Guinea dan legume Stylo dengan penambahan jus fermentasi bakteri fermentasi tidak mendapatkan hasil yang signifikan. Dilihat dari segi kandungan komposisi dari nutrient bahwa terdapat perbedaan antara kandungan dari rumput Guinea dan legume Stylo setelah difermentasi maupun sebelum difermentasi namun tidak signifikan. Terutama pada komposisi dari protein kasar dan pada masing-masing rumput juga mengalami penurunan setelah dilakukan silase diduga bahwa ini dapat terjadi karena ketika proses awal pembuatan silase rumput sudah terkontaminasi oleh bakteri Clostridia proteolitic yang sering terjadi pada silase yang berbahan baku protein yang tinggi seperti legum Stylo sehingga bakteri ini dapat mendekredasi protein di awal proses silase sehingga terjadi penurunan protein dari silase yang dirombak serta memperlambat penurunan pH pada awal proses ensilase, protein tersebut akan didegredasi menjadi asam amino dan kemudian menjadi amonia. Bakteri Clostridia proteolitic sangat dihindari karena dapat memproduksi asam butirat yang dapat menyebabkan pembusukan pada silase (Santoso dan Hariadi 2008). Perlu adanya memperhatikan laju penguraian protein (proteolisis) sehingga dapat mencegah perombakan protein yang terdapat pada legum Stylo (Slottner dan Bertilsson 2006). Terbentuknya kondisi asam pada proses fermentasi akan menghambat proses respirasi, proteolisis, dan mencegah berkembangnya bakteri Clostridia proteolitic (Jennings 2006). Sehingga untuk rumput yang akan disilase agar populasi bakteri Clostridia proteolitic minimum maka perlu dilakukan pemanenan dengan kadar air yang tepat (Jennings 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Bureenok, S., Namihira, T., Tamaki, M., Mizumachi, M., Kawamoto, Y., Nakada,
            T.,2005. Fermentative quality of guineagrass silage by using fermented juice ofthe
            epiphytic lactic acid bacteria (FJLB) as a silage additive. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 18,
            807–811.
Jennings, John. 2006. Principle of Silage Making. Division of Agriculture. University of
            Arkansas. USA
.
Santoso B, Hariadi BT. 2008. Komposisi kimia, degradasi nutrien dan produksi gas metana in
            vitro rumput tropik yang diawetkan dengan metode silase dan hay. Med Pet. 31: 128-137.

Slottner D, Bertilsson J. 2006. Effect of ensiling technology on protein degradation during
            ensilage. Anim. Feed Sci. Technol. 127: 101-111.
      

Pegaruh Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskuluar Glomus spp. Pada Pertumbuhan Alfalfa dalam Tanah dengan Tembaga

Pegaruh Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskuluar Glomus spp. Pada Pertumbuhan Alfalfa dalam Tanah dengan Tembaga
            Tanah yang terdapat pada pusat penambangan memiliki kadar logam berat (HM) yang tinggi terutama Cu. Kadar logam berat pada tanah dapat mencapai tingkat yang menyebabkan fitotoksisitas dan gangguan fungsional terhadap komponen lingkungan lainnya. Logam berat di tanah tidak dapat mengalami biodegradasi sehingga pembersihan kontaminan menjadi pekerjaan yang berat dan mahal. Pembersihan polutan dengan cara konvensional memerlukan biaya yang mahal, sehingga perlu dikembangkan alternatif lain yang lebih ekonomis.
            Penerapan pertanian berwawasan lingkungan dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dapat dilakukan menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA). FMA merupakan asosiasi simbiotik antara fungi dengan akar tanaman yang membentuk jalinan interaksi yang kompleks. FMA berperan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia tanah, meningkatkan serapan hara, memacu pertumbuhan akar tanaman dari hormon tumbuhan yang dihasilkan, meningkatkan ketahanan tanaman dari kekeringan, melindungi akar dari serangan pathogen, melindungi tanaman dari keracunan logam berat, dan melepaskan fosfat yang terfiksasi (Prasetya, 2011). setiadi (2003) menyatakan bahwa, mikoriza berperan penting dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap unsur logam beracun dan terhadap kondisi kekeringan/kurang air.
            Telah ditemukan bahwa beberapa tanaman yang terkait dengan jamur mikoriza arbuskula (FMA) meningkatkan pertumbuhan dan toleransi terhadap HM di tanah. Simbiosis ini merupakan sumber biologis untuk pemulihan tanah yang terdegradasi. Namun, efek FMA terhadap toleransi dan akumulasi HM pada tanaman bergantung pada jenis FMA, jenis tanaman inang, jenis HM, sifat fisik dan kimia, dan kondisi lingkungan (Jankong and Visoottiviseth, 2008). De Gregori et al., (2000) telah melakukan riset menggunakan alfalfa dari lembah Puchuncaví dan Catemu, Valparaíso Region, Chile. Hasilnya menunjukkan bahwa bila kadar Cu di tanah lebih tinggi, kapasitas alfalfa untuk menumpuk Cu lebih besar. Peralta et al., (2004) menyatakan bahwa alfalfa memiliki kapasitas untuk tumbuh di tempat yang terkontaminasi Cu. Berdasarkan hal tersebut, tanaman alfalfa layak digunakan untuk memulihkan tanah dengan konsentrasi Cu yang tinggi.
            Tujuan dari penelitian Novoa et al., (2010) adalah untuk mengetahui pengaruh inokulasi jamur mikoriza arbuskula (Glomus spp.) Terhadap pertumbuhan alfalfa di tanah pertanian dengan konsentrasi Cu yang berbeda – beda dan untuk pemulihan tanah yang terdegradasi.

Akumulasi Tembaga di dalam Alfalfa
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 3 diperoleh data konsentrasi tembaga pada jaringan aerial alfalfa berkisar antara 20-100 mg/kg, hal ini sesuai dengan konsentrasi berlebih atau beracun pada tanaman pertanian (Adriano 2001). Klorosis pada daun tanaman alfalfa dibudidayakan di dalam tanah dengan konsentrasi tembaga yang tinggi setelah 25 hari masa pertumbuhan. Klorosis berlanjut hingga tanaman dipanen tanpa membunuhnya.
Secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara akumulasi Tembaga pada tanaman alfalfa yang diinokulasi dengan Glomus spp. dan yang tidak diinokulasi. Kecuali pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah dengan konsentrasi Tembaga yang rendah, tanaman alfalfa mengumpulkan Tembaga dengan konsentrasi lebih tinggi pada jaringan akar dibandingkan dengan jaringan aerial. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lins et al. (2006) yang menggunakan tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala) yang diinokulasi dengan AMF Glomus etunicatum.
Akumulasi tembaga pada jaringan aerial dan akar tanaman alfalfa, baik yang diberi perlakuan inokulasi maupun tidak memiliki hubungan langsung dengan konsentrasi total Tembaga dalam tanah (Tabel 3). Terdapat kecenderungan bahwa terjadi akumulasi Tembaga yang lebih tinggi pada jaringan alfalfa saat konsentrasi Tembaga tanah meningkat. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian De Gregori et al. (2000) dimana tanaman alfalfa dari lembah Puchuncavi dan Catemucenderung untuk mengumpulkan Tembaga dalam jumlah yang besar ke dalam jaringan saat jumlah Tembaga tanah meningkat. Wang et al. 2007 melaporkan bahwa jagung yang diinokulasi dengan FMA Acaulospora mellea, memiliki konsentrasi Tembaga yang tinggi ketika level Tembaga dalam tanah meningkat.
            Faktor Biokonsenstrasi (BF) dan translokasi (TF) (Tabel 3) cenderung menurun ketika konsentrasi Tembaga pada tanah meningkat. Alfalfa yang dibudidaya dalam tanah dengan kosentrasi tembaga paling rendah menunjukkan nilai BF dan TF yang lebih tinggi, sedangkan alfalfa yang dibudidaya dalam tanah dengan kosentrasi tembaga tertinggimenghasilkan nilai BF dan TF yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh yang menguntungkan pada kolonisasi mikoriza di bawah kondisi HM yang berlebihan dimana FMA bertindak sebagaipenghalang pelindung yang membatasi pemindahan logam tanah ke tanamandan translokasi logam berikutnya dari akar ke jaringan aerial (Wang et al. 2007; Jankong and Visoottiviseth 2008).
Pertumbuhan Alfalfa
Tabel 2. Perbandingan jamur mikoriza arbuskular yang diinokulasi dan perlakuan yang tidak diinokulasi untuk parameter pertumbuhan tanaman alfalfa: tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, tunas dan bahan kering akar setelah 81 hari pertumbuhan pada tanah dengan meningkatnya konsentrasi Cu.
                Alfalfa merupakan tanaman leguminosa yang mempunyai kandungan protein yang tinggi sekitar 19-23%, nilai kecernaan mencapai 71-80% ( Phillips et al. 2003), dan pH minimum yaitu 6,2 (Skerman, 1977). Pada percobaan yang menggunakan jamur mikoriza arbuskular baik yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi menggunakan tanaman alfalfa setelah 81 hari dengan meningkatkan konsentrasi Cu, terjadi perbedaan pada setiap parameter yang diamati. Konsentrasi Cu yang diberikan pada tanaman alfalfa yaitu 53,8 mg kg-1, 96,4 mg kg-1, 128 mg kg-1, dan 620 mg kg-1.  Pada konsentrasi Cu tertinggi secara signifikan lebih rendah (p ≤0,05) dibandingkan pertumbuhan dengan konsentrasi Cu yang lebih rendah (dapat dilihat pada tabel 2). Jika dilihat dari tabel 2 maka persentase perbedaan perlakuan pada setiap parameter yaitu tinggi tanaman 24%, diameter batang 11%, jumlah daun 34% semuanya lebih tinggi pada perlakuan yang diinokulasi.
            Apabila tanaman alfalfa diberi perlakuan pada tanah dengan konsentrasi Cu yang lebih tinggi maka perbedaan yang terjadi antara perlakuan ini signifikan. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Lins et al. (2006) pada tanaman Leucaenaleucocephala (tanaman lamtoro) mendapatkan hasil yang serupa bila diberi perlakuan dengan konsentrasi Cu yang berbeda. Pada penelitian Lins et al. (2006) mereka menginokulasi tanaman dengan FMA Glomusetunicatum. Jika dilihat dari hasil penelitian ini bahwa semakin tingginya konsentrasi Cu yang diberikan tidak memberikan efek yang baik pada pertumbuhan tanaman alfalfa. Menurut Yu et al. (2007) bahwa jika pemberian P pada media tanam cukup tinggi maka pemberian P tidak efektif. Namun, menurut Agustina (2004) bahwa pemberian P yang diberikan pada bentuk mineral komplek, sehingga lambat untuk tersedia dan sulit diserap oleh tanaman. Selain itu kondisi kelembapan yang tinggi akan menyebabkan tanaman alfalfa menjadi memperlambat pertumbuhan.
            Pada parameter biomassa (bobot kering), dilihat dari tabel 2 bahwa perlakuan konstrasi Cu yang diberikan memberikan perbedaan pada biomassa udara dan juga biomassa akar. Dimana pada konsentrasi Cu terendah memiliki biomassa udara dan biomassa akar jauh lebih tinggi (p ≤ 0,05) dibandingkan dengan konsntrasi Cu yang tertinggi (Tabel 2). Dimana perlakuan yang diinokulasi memiliki biomassa udara dan akar lebih tinggi yaitu 23 dan 19% daripada perlakuan yang tidak diinokulasi, namun tidak signifikan (p>0,05). Pada penelitian Citterioet al. (2005) bahwa ditemukan di tanaman Cannabis sativa L. yang diinokulasi dengan AMF Glomusmosswae memiliki hasil yang sama yaitu tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara kedua biomassa tanaman baik yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adriano, D.C. 2001. Trace elements in terrestrial
environments: Biogeochemistry, bioavailability, and risk of metals. 866 p. 2ª ed. Springer-Verlag, New York, USA.
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Citterio, S., N. Prato, P. Fumagalli, R. Aina, N. Massa, A. Santagostino, et al. 2005. The arbuscular mycorrhizal fungus Glomusmosseaeinduces growth and metal accumulation changes in Cannabis sativa L.Chemosphere 59:21-29.
De Gregori, I., G. Lobos, S. Lobos, H. Pinochet, M. Potin, and M. Astruc. 2000. Copper and selenium in rainwater, soils and alfalfa from agricultural ecosystems of Valparaíso Región. Chile. Bol. Soc.
Chil. Quím. 45(1):131-146.
Jankong, P., and P. Visoottiviseth. 2008. Effects of arbuscular mycorrhizal inoculation on plants growing on arsenic contaminated soil. Chemosphere 72:1092-1097.
Lins, C.E.L., U.M.T. Cavalcante, E.V.S.B. Sampaio, A.S. Messias, and L.C. Maia. 2006. Growth of mycorrhized seedlings of Leucaenaleucocephala (Lam.) de Wit. In a copper contaminated soil. Appl. Soil Ecol. 31:181-185.
Peralta, J., G. De la Rosa, J. González, and J. Gardea. 2004. Effects of the growth stage on the heavy metal tolerance of alfalfa plants. Adv. Environ. Res. 8:679-685.
Philips, W. A., S. C. Rao, J. Q. Fitch dan H. S. Maeux. 2003. Digestibility and dry matter intake of diets containing Alfalfa and kenaf. Jurnal.http://jas.fass.org/egi/content/full/80/11/298 9.[6 Agustus 2007].
Prasetya, C. A.B. 2011. Assesment OfThe Effect Of Long Term Tillage On The Arbascular Mycorthiza Colonization Of Vegetable Grop Grown In Andisol. Agrivita 33(1):85-92.
Setiadi. 2003. Arbuscular Mycorhizal Inokulum Production. Program Dan Abstrak Seminar Dan Pameran: Teknologi Produksi Dan Pemanfaatan Inokulasi Endo-Ektomikoriza Untuk Pertanian, Perkebunan Dan Kehutanan. 16 September 2003.
Skerman, P. J. 1977. Tropical Forage Legumes.Food and Agriculture Organization of the United Nations. Italy.
Wang, F., X. Lin, and R. Yin. 2007. Inoculation with arbuscular mycorrhizal fungus Acaulospora mellea decreases Cu phytoextraction by maize from Cucontaminated soil. Pedobiologia 51:99-109.
Yu Jia, XuBingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling. 2007. Availability and Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in semiarid Loess Plateau. Acta EcologicaSinica. 2007, 27(1): 42-47.